sebenarnya penyakit amandel itu seperti apa sih? operasi amandeL tentunya sudah tidak lagi asing lg di telinga bukan? seperti apa sih itu? haruskah operasi? amandel terdapat pada semua orang dan terletak pada kerongkongan di belakang kedua ujung lipatan belakang mulut. Amandel, dalam bahasa kedokteran biasa disebut tonsil, berfungsi untuk menghasilkan limfosit yaitu sejenis sel darah putih yang bertugas membunuh kuman yang masuk ke dalam badan melalui mulut. apabila tonsil meradang maka tonsil dapat membengkak, merah dan penderita merasa gatal, sakit kerongkongan, sakit menelan, kadang-kadang muntah.
Peradangan tonsil membuat anak demam, sakit kepala, muntah-muntah, sakit perut, lemas dan tidak bersemangat. Pembesaran tonsil yang terlalu besar dapat menghalangi jalan pernafasan. Kelenjar di bawah dagu dapat pula membesar. Kelenjar pada dinding kerongkongan disebut adenoid. Biasanya apabila amandel meradang adenoid pun ikut meradang.
Peradangan ini dapat disebabkan kuman dan virus yang masuk ke dalam mulut. Peradangan ini dapat diobati dengan antibiotik. Namun apabila terjadi berulang-ulang perlu dilakukan operasi.
sumber: penyakit dan peanggulangannya oleh E. Oswari
PROTEIN ENERGY MALNUTRITION
PEM terjadi ketika kebutuhan tubuh akan protein, bahan bakar energi ataupun keduanya tidak dapat dipenuhi oleh makanan.
MANIFESTASI KLINIS
Kwasiorkor (edema)
- Samar-samar: lesu, apathy, iritability
- Muscle wasting, muntah, diare, anoreksia, jaringan subkutan menjadi lebih lunak.
- Edema: organ dalam dan ekstermitas.
- Dermatitis kulit yang menjadi lebih gelap pada area yang teriritasi, namun pada kulit yang terpapar sinar matahari (-)
- Rambut akan menjadi lebih tipis dan sedikit.
Marasmus (non-edema)
- BB menurun
- Iritability
- Turgor sign (-)
- Lemak pada subkutan dan sucking pad pada pipi (-)
- Abdomen bisa mengalami distensi atau datar, intestinal pattern mudah dilihat.
- Hipotonia
- Suhu (N), PR melambat
- Konstipasi /starvation diarrhea
Marasmus Kwasiorkor (edema)
- Kombinasi marasmus + kwasiorkor.
- Edema dengan atau tanpa lesi di kulit, kelemahan otot
- Penurunan jumlah lemak subkutan marasmus.
- Edema (-)
Download Powerpoint [.Ppt]
MANIFESTASI KLINIS
Kwasiorkor (edema)
- Samar-samar: lesu, apathy, iritability
- Muscle wasting, muntah, diare, anoreksia, jaringan subkutan menjadi lebih lunak.
- Edema: organ dalam dan ekstermitas.
- Dermatitis kulit yang menjadi lebih gelap pada area yang teriritasi, namun pada kulit yang terpapar sinar matahari (-)
- Rambut akan menjadi lebih tipis dan sedikit.
Marasmus (non-edema)
- BB menurun
- Iritability
- Turgor sign (-)
- Lemak pada subkutan dan sucking pad pada pipi (-)
- Abdomen bisa mengalami distensi atau datar, intestinal pattern mudah dilihat.
- Hipotonia
- Suhu (N), PR melambat
- Konstipasi /starvation diarrhea
Marasmus Kwasiorkor (edema)
- Kombinasi marasmus + kwasiorkor.
- Edema dengan atau tanpa lesi di kulit, kelemahan otot
- Penurunan jumlah lemak subkutan marasmus.
- Edema (-)
Download Powerpoint [.Ppt]
Permasalahan Nutrisi pada Remaja
Penilaian Nutrisi
Tujuan
- menentukan status nutrisi pasien secara umum
- perawatan kesehatan yang diperlukan (fisik maupun psikososial, dan faktor-faktor terkait yang mempengaruhi kebutuhan pasien pada situasi tertentu)
Empat bagian penilaian nutrisi :
1. Evaluasi makanan dan riwayat personal (medis, sosial, pengobatan)
2. Observasi klinis
3. Tes biokimia
4. Antropometri
Evaluasi Makanan dan Riwayat Sosial
- Spesific 24-hour food record
- Riwayat makanan
- Periodic food records
Klinis
1. Anemia defisiensi besi:
- Lemah, letih, lesu
- Sakit kepala
- Takikardi, lidah terasa terbakar
- Prilaku sosial remaja cenderung tidak aktif dikarenakan anemianya.
2. Obesitas:
- Cepat lelah saat beraktivitas
- Nyeri sendi
- Gejala penyakit lain yang menyertai, seperti insulin resistensi dan hipertensi (poliuri, polifagi dan polidipsi)
3. Anoreksia
- Badan kurus
- Cepat lelah
- Dapat disertai dengan penyakit lain seperti defisiensi besi.
4. Bulimia
- Badan gemuk ataupun kurus
- Makan banyak tetapi dimuntahkan lagi (disengaja pada remaja)
- Letih, lemah, lesu
Download Powerpoint [.Ppt]
Tujuan
- menentukan status nutrisi pasien secara umum
- perawatan kesehatan yang diperlukan (fisik maupun psikososial, dan faktor-faktor terkait yang mempengaruhi kebutuhan pasien pada situasi tertentu)
Empat bagian penilaian nutrisi :
1. Evaluasi makanan dan riwayat personal (medis, sosial, pengobatan)
2. Observasi klinis
3. Tes biokimia
4. Antropometri
Evaluasi Makanan dan Riwayat Sosial
- Spesific 24-hour food record
- Riwayat makanan
- Periodic food records
Klinis
1. Anemia defisiensi besi:
- Lemah, letih, lesu
- Sakit kepala
- Takikardi, lidah terasa terbakar
- Prilaku sosial remaja cenderung tidak aktif dikarenakan anemianya.
2. Obesitas:
- Cepat lelah saat beraktivitas
- Nyeri sendi
- Gejala penyakit lain yang menyertai, seperti insulin resistensi dan hipertensi (poliuri, polifagi dan polidipsi)
3. Anoreksia
- Badan kurus
- Cepat lelah
- Dapat disertai dengan penyakit lain seperti defisiensi besi.
4. Bulimia
- Badan gemuk ataupun kurus
- Makan banyak tetapi dimuntahkan lagi (disengaja pada remaja)
- Letih, lemah, lesu
Download Powerpoint [.Ppt]
Rickets
Rickets is a disease of growing bone that is unique to children and adolescents. It is caused by a failure of osteoid to calcify in a growing person. Failure of osteoid to calcify in adults is called osteomalacia. Vitamin D deficiency rickets occurs when the metabolites of vitamin D are deficient. Less commonly, a dietary deficiency of calcium or phosphorus may also produce rickets. Vitamin D-3 (cholecalciferol) is formed in the skin from a derivative of cholesterol under the stimulus of ultraviolet-B light. Ultraviolet light or cod liver oil was the only significant source of vitamin D until early in the 20th century when ergosterol (vitamin D-2) was synthesized from irradiated plant steroids.
Pathophysiology
Cholecalciferol (ie, vitamin D-3) is formed in the skin from 5-dihydrotachysterol. This steroid undergoes hydroxylation in 2 steps. The first hydroxylation occurs at position 25 in the liver, producing calcidiol (25-hydroxycholecalciferol), which circulates in the plasma as the most abundant of the vitamin D metabolites and is thought to be a good indicator of overall vitamin D status. The second hydroxylation step occurs in the kidney at the 1 position, where it undergoes hydroxylation to the active metabolite calcitriol (1,25-dihydroxycholecalciferol). This cholecalciferol is not technically a vitamin but a hormone.
Calcitriol acts at 3 known sites to tightly regulate calcium metabolism. Calcitriol promotes absorption of calcium and phosphorus from the intestine, increases reabsorption of phosphate in the kidney, and acts on bone to release calcium and phosphate. Calcitriol may also directly facilitate calcification. These actions increase the concentrations of calcium and phosphorus in extracellular fluid. The increase of calcium and phosphorus in extracellular fluid, in turn, leads to the calcification of osteoid, primarily at the metaphyseal growing ends of bones but also throughout all osteoid in the skeleton. Parathyroid hormone facilitates the 1-hydroxylation step in vitamin D metabolism.
In the vitamin D deficiency state, hypocalcemia develops, which stimulates excess parathyroid hormone, which stimulates renal phosphorus loss, further reducing deposition of calcium in the bone. Excess parathyroid hormone also produces changes in the bone similar to those occurring in hyperparathyroidism. Early in the course of rickets, the calcium concentration in the serum decreases. After the parathyroid response, the calcium concentration usually returns to the reference range, though phosphorus levels remain low. Alkaline phosphatase, which is produced by overactive osteoblast cells, leaks to the extracellular fluids so that its concentration rises to anywhere from moderate elevation to very high levels.
Intestinal malabsorption of fat and diseases of the liver or kidney may produce the clinical and secondary biochemical picture of nutritional rickets. Anticonvulsant drugs (eg, phenobarbital, phenytoin) accelerate metabolism of calcidiol, which may lead to insufficiency and rickets, particularly in children who are kept indoors in institutions.
Source: http://emedicine.medscape.com/article/985510-overview
Download Powerpoint [.Ppt]
Pathophysiology
Cholecalciferol (ie, vitamin D-3) is formed in the skin from 5-dihydrotachysterol. This steroid undergoes hydroxylation in 2 steps. The first hydroxylation occurs at position 25 in the liver, producing calcidiol (25-hydroxycholecalciferol), which circulates in the plasma as the most abundant of the vitamin D metabolites and is thought to be a good indicator of overall vitamin D status. The second hydroxylation step occurs in the kidney at the 1 position, where it undergoes hydroxylation to the active metabolite calcitriol (1,25-dihydroxycholecalciferol). This cholecalciferol is not technically a vitamin but a hormone.
Calcitriol acts at 3 known sites to tightly regulate calcium metabolism. Calcitriol promotes absorption of calcium and phosphorus from the intestine, increases reabsorption of phosphate in the kidney, and acts on bone to release calcium and phosphate. Calcitriol may also directly facilitate calcification. These actions increase the concentrations of calcium and phosphorus in extracellular fluid. The increase of calcium and phosphorus in extracellular fluid, in turn, leads to the calcification of osteoid, primarily at the metaphyseal growing ends of bones but also throughout all osteoid in the skeleton. Parathyroid hormone facilitates the 1-hydroxylation step in vitamin D metabolism.
In the vitamin D deficiency state, hypocalcemia develops, which stimulates excess parathyroid hormone, which stimulates renal phosphorus loss, further reducing deposition of calcium in the bone. Excess parathyroid hormone also produces changes in the bone similar to those occurring in hyperparathyroidism. Early in the course of rickets, the calcium concentration in the serum decreases. After the parathyroid response, the calcium concentration usually returns to the reference range, though phosphorus levels remain low. Alkaline phosphatase, which is produced by overactive osteoblast cells, leaks to the extracellular fluids so that its concentration rises to anywhere from moderate elevation to very high levels.
Intestinal malabsorption of fat and diseases of the liver or kidney may produce the clinical and secondary biochemical picture of nutritional rickets. Anticonvulsant drugs (eg, phenobarbital, phenytoin) accelerate metabolism of calcidiol, which may lead to insufficiency and rickets, particularly in children who are kept indoors in institutions.
Source: http://emedicine.medscape.com/article/985510-overview
Download Powerpoint [.Ppt]
Metabolic Syndrome
Metabolic syndrome is the name for a group of risk factors linked to overweight and obesity that increase your chance for heart disease and other health problems such as diabetes and stroke. The term “metabolic” refers to the biochemical processes involved in the body’s normal functioning. Risk factors are behaviors or conditions that increase your chance of getting a disease.
Sindrom metabolik adalah nama untuk sekelompok faktor risiko terkait dengan kelebihan berat badan, obesitas, peningkatan kadar gula darah puasa, obesitas abdominal, kolesterol tinggi, dan peningkatan tekanan darah yang yang meningkatkan kemungkinan terjadi penyakit jantung dan masalah kesehatan lainnya seperti diabetes dan stroke. Istilah metabolik merujuk kepada proses biokimia yang terlibat dalam fungsi tubuh normal.
Download Powerpoint [.Ppt]
Sindrom metabolik adalah nama untuk sekelompok faktor risiko terkait dengan kelebihan berat badan, obesitas, peningkatan kadar gula darah puasa, obesitas abdominal, kolesterol tinggi, dan peningkatan tekanan darah yang yang meningkatkan kemungkinan terjadi penyakit jantung dan masalah kesehatan lainnya seperti diabetes dan stroke. Istilah metabolik merujuk kepada proses biokimia yang terlibat dalam fungsi tubuh normal.
Download Powerpoint [.Ppt]
Defisiensi Vitamin B1
Defisiensi vitamin B1 (Thiamin) adalah suatu sindrom yang muncul sebagai hasil dari suatu keparahan, kekurangan thiamin yang berkepanjangan pada makanan. Ini dapat terjadi saat diet hanya terdiri dari beras putih yang digiling, beras yang terlalu bersih dicuci, dan tepung terigu atau gandum. Defisiensi thiamin yang terjadi selama rentang waktu 2-3 bulan dapat menyebabkan berbagai gangguan hingga kematian.
Vitamin B1 atau thiamin merupakan jenis vitamin yang banyak terdapat pada bahan makanan sehari-hari. Selama proses penyerapan yang terjadi di usus, thiamin mengalami phosporilasi untuk menghasilkan thiamin pirophospat yang merupakan bentuk aktif dari vitamin B1.
Beberapa penyakit akan muncul seiring dengan menurunnya fungsi normal thiamin pada tubuh manusia yang mengalami defisiensi thiamin.
Download Powerpoint [.Ppt]
Vitamin B1 atau thiamin merupakan jenis vitamin yang banyak terdapat pada bahan makanan sehari-hari. Selama proses penyerapan yang terjadi di usus, thiamin mengalami phosporilasi untuk menghasilkan thiamin pirophospat yang merupakan bentuk aktif dari vitamin B1.
Beberapa penyakit akan muncul seiring dengan menurunnya fungsi normal thiamin pada tubuh manusia yang mengalami defisiensi thiamin.
Download Powerpoint [.Ppt]
Posisi Tidur yang Baik untuk Kesehatan
Kebiasaan tidur ternyata dapat mempengaruhi kecantikan dan kesehatan wajah. Untuk menjaga tubuh tetap bugar saat bangun tidur sebaiknya mulailah untuk merubah kebiasaan posisi tidur anda.
Mulailah untuk tidur dengan posisi telentang lurus dan gunakan bantal yang tidak terlalu tinggi. Posisi tidur ini dianggap paling sempurna karena badan berada dalam posisi rileks. Tubuh anda juga tidak melengkung sehingga dapat mengganggu jantung dan sirkulasi darah.
Posisi tidur miring sebenarnya tidak buruk tetapi sebaiknya jangan terus menerus dalam kondisi itu. Posisi miring yang baik adalah miring ke kanan karena dianggap oleh para dokter posisi ini tidak menekan aliran pada jantung anda.
Posisi tengkurap merupakan posisi yang paling buruk. Karena bisa menekan lengkungan tulang punggung yang menyebabkan otot tetap tegang selama tidur. Selain itu tengkurap bisa membuat wajah anda sembab dan mata merah karena dada dan jantung tertekan.
Sebaiknya hindari tidur yang menantang lampu karena akan membuat wajah mengerut saat anda tidur pulas. Jangan lupa tanggalkan perhiasan dan pakaian dalam saat tidur, agar darah bisa bersirkulasi baik dan membuat anda tidur semakin nyenyak.
Mulailah untuk tidur dengan posisi telentang lurus dan gunakan bantal yang tidak terlalu tinggi. Posisi tidur ini dianggap paling sempurna karena badan berada dalam posisi rileks. Tubuh anda juga tidak melengkung sehingga dapat mengganggu jantung dan sirkulasi darah.
Posisi tidur miring sebenarnya tidak buruk tetapi sebaiknya jangan terus menerus dalam kondisi itu. Posisi miring yang baik adalah miring ke kanan karena dianggap oleh para dokter posisi ini tidak menekan aliran pada jantung anda.
Posisi tengkurap merupakan posisi yang paling buruk. Karena bisa menekan lengkungan tulang punggung yang menyebabkan otot tetap tegang selama tidur. Selain itu tengkurap bisa membuat wajah anda sembab dan mata merah karena dada dan jantung tertekan.
Sebaiknya hindari tidur yang menantang lampu karena akan membuat wajah mengerut saat anda tidur pulas. Jangan lupa tanggalkan perhiasan dan pakaian dalam saat tidur, agar darah bisa bersirkulasi baik dan membuat anda tidur semakin nyenyak.
Mengenal Cacar Air pada Anak
cacar air dapat menyerang anak-anak maupun dewasa. walaupun tidak berbahaya, cacar air bisa menjadi parah akibat infeksi bakteri
Tips:
1. jika terlihat bintik merah atau lepuhan yang mulai dari bagian tengah badan lalu menjalar ke samping badan, didahului oleh gejala lemas, demam, disertai nafsu makan menurun, dan ada kontak dengan penderita cacar air sekitar 1 minggu sebelumnya, pikirkan kemungkinan terkena cacar air.
2. tetap mandi seperti biasa dengan air yang bersih, karena kuman yang berada pada kulit akan dapat menginfeksi kulit yang sedang terkena cacar air. keringkan tubuh sesudah mandi, usahakan tidak menggosok terlalu keras.
3. untuk menghindari bekas luka yang sulit hilang, usahakan untuk menghindari pecahnya lenting cacar air
4. pastikan selalu hidup di lingkungan yang bersih, dengan pola hidup yang sehat dan pola makan gizi seimbang untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit. konsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C, seperti jambu biji dan tomat sangat dianjurkan.
5. jangan lupa untuk memberikan vaksinasi anti cacar untuk anak, yang dapat dilakukan pada usia mulai satu tahun ke atas
karena cacar air pada umumnya ringan dan sembuh dengan sendirinya, penanganan cacar air terutama ditujukan untuk meringankan gejala. yang dapat dilakukan adalah istirahat secukupnya.
- minum paracetamol untuk menurunkan demam
- mandi dengan air suam-suam kuku dan taburkan bedak di seluruh badan untuk meringankan rasa gatal
- mandi setiap hari dan cuci pakaian samapai bersih
- gunakan sarung tangan untuk mencegah anak menggaruk ruam atau usahakan kuku tetap pendek dan tidak tajam
- makan makanan yang lembut dan menyejukkan jika ada ruam di dalam mulut
Sumber:Kartika Kencana
Tips:
1. jika terlihat bintik merah atau lepuhan yang mulai dari bagian tengah badan lalu menjalar ke samping badan, didahului oleh gejala lemas, demam, disertai nafsu makan menurun, dan ada kontak dengan penderita cacar air sekitar 1 minggu sebelumnya, pikirkan kemungkinan terkena cacar air.
2. tetap mandi seperti biasa dengan air yang bersih, karena kuman yang berada pada kulit akan dapat menginfeksi kulit yang sedang terkena cacar air. keringkan tubuh sesudah mandi, usahakan tidak menggosok terlalu keras.
3. untuk menghindari bekas luka yang sulit hilang, usahakan untuk menghindari pecahnya lenting cacar air
4. pastikan selalu hidup di lingkungan yang bersih, dengan pola hidup yang sehat dan pola makan gizi seimbang untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit. konsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C, seperti jambu biji dan tomat sangat dianjurkan.
5. jangan lupa untuk memberikan vaksinasi anti cacar untuk anak, yang dapat dilakukan pada usia mulai satu tahun ke atas
karena cacar air pada umumnya ringan dan sembuh dengan sendirinya, penanganan cacar air terutama ditujukan untuk meringankan gejala. yang dapat dilakukan adalah istirahat secukupnya.
- minum paracetamol untuk menurunkan demam
- mandi dengan air suam-suam kuku dan taburkan bedak di seluruh badan untuk meringankan rasa gatal
- mandi setiap hari dan cuci pakaian samapai bersih
- gunakan sarung tangan untuk mencegah anak menggaruk ruam atau usahakan kuku tetap pendek dan tidak tajam
- makan makanan yang lembut dan menyejukkan jika ada ruam di dalam mulut
Sumber:Kartika Kencana
DEFISIENSI BESI
Pendahuluan
Defisiensi besi adalah kekurangan besi dalam tubuh karena kosongnya cadangan besi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang berperan diantaranya kehilangan besi sebagai akibat pendarahan, kurangnya asupan akibat taraf sosial ekonomi, kebutuhan yang meningkat seperti pada wanita hamil, serta gangguan penyerapan besi di dalam tubuh akibat kesalahan kombinasi jenis asupan.
Setiap hari tubuh membutuhkan 20-25 mg besi untuk eritropoesis dimana 95% besi berasal dari perputaran daur eritrosit dan katabolisme hemoglobin. Sehingga hanya sekitar 1 mg besi setiap hari (5% dari daur eritrosit) yang dibutuhkan dari luar tubuh baik yang berasal dari protein hewani (besi heme) ataupun dari tumbuh-tumbuhan (besi nonheme). Kebutuhan ini dapat berbeda karena faktor usia dan jenis kelamin.
Jika kebutuhan besi tiap harinya dipenuhi, maka besi sebagai mikronutrien dan trace element dalam tubuh dapat menjalankan fungsi untuk mensintesis hemoglobin, mioglobin, dan beberapa enzim seperti sitokrom di dalam tubuh manusia. Apabila kebutuhan besi dalam tubuh tidak tercukupi dan tidak segera diatasi, maka manifestasi klinis yang paling awal dan sering terjadi adalah Anemia Defisiensi Besi (ADB). Jenis anemia karena penyakit kronis ataupun Ressless Leg Syndrome (RLS) juga dilaporkan, namun patofisiologinya tidak diketahui dengan jelas
ADB paling sering terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terkait dengan taraf ekonomi yang relative rendah, kurangnya asupan protein hewani, dan investasi parasit pada daerah endemik. Prevalensi ADB pada laki-laki 16-50%, 25-84% pada wanita tak hamil, 46-92% pada wanita hamil yang relatif rendah pada trimester I dan kemudian meningkat pada trimester II. Sekitar 50% ADB pada wanita hamil terjadi setelah kehamilan 25 minggu. Terdapat penelitian yang melaporkan sejumlah 24% dari penderita ADB menunjukkan gejala RLS.
Oleh karena tingginya insiden defisiensi besi di Indonesia, di bab selanjutnya akan dibahas mengenai patofisiologi, gambaran klinis, penilaian secara nutrisional, cara mendiagnosis serta manajemen untuk mengurangi angka insiden serta menurunkan mortalitas dan morbiditas akibat defisiensi besi.
Download complete file [Doc]
Download Powerpoint [Ppt]
Related Reference:
1. Earley CJ.Restless Legs Syndrome. N Engl J Med 2003;348:2103-9.
Defisiensi besi adalah kekurangan besi dalam tubuh karena kosongnya cadangan besi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang berperan diantaranya kehilangan besi sebagai akibat pendarahan, kurangnya asupan akibat taraf sosial ekonomi, kebutuhan yang meningkat seperti pada wanita hamil, serta gangguan penyerapan besi di dalam tubuh akibat kesalahan kombinasi jenis asupan.
Setiap hari tubuh membutuhkan 20-25 mg besi untuk eritropoesis dimana 95% besi berasal dari perputaran daur eritrosit dan katabolisme hemoglobin. Sehingga hanya sekitar 1 mg besi setiap hari (5% dari daur eritrosit) yang dibutuhkan dari luar tubuh baik yang berasal dari protein hewani (besi heme) ataupun dari tumbuh-tumbuhan (besi nonheme). Kebutuhan ini dapat berbeda karena faktor usia dan jenis kelamin.
Jika kebutuhan besi tiap harinya dipenuhi, maka besi sebagai mikronutrien dan trace element dalam tubuh dapat menjalankan fungsi untuk mensintesis hemoglobin, mioglobin, dan beberapa enzim seperti sitokrom di dalam tubuh manusia. Apabila kebutuhan besi dalam tubuh tidak tercukupi dan tidak segera diatasi, maka manifestasi klinis yang paling awal dan sering terjadi adalah Anemia Defisiensi Besi (ADB). Jenis anemia karena penyakit kronis ataupun Ressless Leg Syndrome (RLS) juga dilaporkan, namun patofisiologinya tidak diketahui dengan jelas
ADB paling sering terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terkait dengan taraf ekonomi yang relative rendah, kurangnya asupan protein hewani, dan investasi parasit pada daerah endemik. Prevalensi ADB pada laki-laki 16-50%, 25-84% pada wanita tak hamil, 46-92% pada wanita hamil yang relatif rendah pada trimester I dan kemudian meningkat pada trimester II. Sekitar 50% ADB pada wanita hamil terjadi setelah kehamilan 25 minggu. Terdapat penelitian yang melaporkan sejumlah 24% dari penderita ADB menunjukkan gejala RLS.
Oleh karena tingginya insiden defisiensi besi di Indonesia, di bab selanjutnya akan dibahas mengenai patofisiologi, gambaran klinis, penilaian secara nutrisional, cara mendiagnosis serta manajemen untuk mengurangi angka insiden serta menurunkan mortalitas dan morbiditas akibat defisiensi besi.
Download complete file [Doc]
Download Powerpoint [Ppt]
Related Reference:
1. Earley CJ.Restless Legs Syndrome. N Engl J Med 2003;348:2103-9.
The Problem of Underweight
Definition
Extremes in underweigth, just as in overweigth, bring or accompany serious health problems. It is estimated that somewhat less than 10% of persons have trouble graining and maintaining weight. Some seem to lack control over how much they eat at a meal and reach a full feeling with less food than do persons of normal weight. Underweight may be assosiated with poverty, poor living, conditions, or long-term disease. Elderly persons experiencing changes in appetite are at risk of underweight.
A normal, healthy Body Mass Index ranges from 18.5 to 22.9. Anything lower than 18.5 is underweight.
Causes
In general, underweight is assosiated with conditions that cause basic malnutrition, such as:
* wasting disease
* poor food intake
* malabsorption
* hormonal imbalance
* energy imbalance
* poor living situation
Nutritional Care
the dietary goal, according to each person's tolerance, is to increase energy and nutrient intake in a diet that is :
* high in kcalories, at least 50% above standard needs
* high in protein, to rebuild tissue
* high in carbohidrate, to provide a primary energy source in easily digested form
* moderate in fat, to add kcalories but not exceed toleration limits
* optimum in vitamins and minerals
Good food of wide variety, well prepared and seasoned, and attractively presented helps revive lagging appetites and increases the desire to eat. Frequent, small nourishing meals and snacks spread through the day, including favorite foods, stimulate interest in eating and increase the optimal use of foods and their nutrients. To achieve the desired increase in kcalories, use food seasoning (such as margarine or butter, sauces, and dressings) and liquid nutritional supplements to add kcalories and key nutrients. In some extreme cases, tube feeding or total parenteral nutrition (TPN) may be necessary.
Extremes in underweigth, just as in overweigth, bring or accompany serious health problems. It is estimated that somewhat less than 10% of persons have trouble graining and maintaining weight. Some seem to lack control over how much they eat at a meal and reach a full feeling with less food than do persons of normal weight. Underweight may be assosiated with poverty, poor living, conditions, or long-term disease. Elderly persons experiencing changes in appetite are at risk of underweight.
A normal, healthy Body Mass Index ranges from 18.5 to 22.9. Anything lower than 18.5 is underweight.
Causes
In general, underweight is assosiated with conditions that cause basic malnutrition, such as:
* wasting disease
* poor food intake
* malabsorption
* hormonal imbalance
* energy imbalance
* poor living situation
Nutritional Care
the dietary goal, according to each person's tolerance, is to increase energy and nutrient intake in a diet that is :
* high in kcalories, at least 50% above standard needs
* high in protein, to rebuild tissue
* high in carbohidrate, to provide a primary energy source in easily digested form
* moderate in fat, to add kcalories but not exceed toleration limits
* optimum in vitamins and minerals
Good food of wide variety, well prepared and seasoned, and attractively presented helps revive lagging appetites and increases the desire to eat. Frequent, small nourishing meals and snacks spread through the day, including favorite foods, stimulate interest in eating and increase the optimal use of foods and their nutrients. To achieve the desired increase in kcalories, use food seasoning (such as margarine or butter, sauces, and dressings) and liquid nutritional supplements to add kcalories and key nutrients. In some extreme cases, tube feeding or total parenteral nutrition (TPN) may be necessary.
Langganan:
Postingan (Atom)